0 Sunan Drajat, Wali yang memiliki Gelar Madu dan Nama Terbanyak

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel dari pernikahan dengan Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati, istri kedua) pada jaman Majapahit, ia memiliki nama kecil Raden Syarifudin atau Raden Qosim yang terkenal akan kecerdasannya makanya beliau merupakan putra kesayangan dari Sunan Ampel, Sunan Drajat sendiri memiliki empat bersaudara yang bernama Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum, Ibrahim), Siti Syare'at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah.

Kata Drajat sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti memiliki kualitas tingkatan.

Semasa muda beliau memiliki gelar Sunan Mayang Madu serta nama terbanyak diantara Sunan lainnya (Wali Sanga) yang diraihnya di berbagai naskah kuno yang tidak banyak terungkap jejaknya diantaranya:
* Sunan Mayang Madu (diperoleh dari Raden Patah Sultan Demak)
* Maulana Hasyim
* Sunan Mahmud
* Syekh Masakeh
* Sunan Muryapada
* Raden Imam
* Pangeran Kadrajat
* Masaikh Munat
* Pangeran Syarifudin
* Sunan Sedayu

Dikampung halamannya beliau menghabiskan masa mudanya yaitu di Ampeldenta, Surabaya. Ketika beranjak dewasa iapun pergi yang diperintahkan oleh ayahnya untuk berdakwah dipesisir barat Gresik dan berlayar dimulai dari Syahdan, Surabaya menggunakan biduk nelayan. Selama diperjalanan perahunya diseret badai sehingga pecah dihantam ombak besar persis yang diperintahkan oleh ayahnya yaitu di Lamongan, Gresik Barat, kemudian iapun berpegangan pada dayung perahu lalu ditolong oleh ikan talang (cakalang) serta ikan cucut yang pada akhirnya beliaupun selamat mendarat disebuah kampung Jelak, Banjarwati.

Kemudian beliaupun disambut baik oleh tetua kampung setempat yang bernama Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu yang mana tetua ini telah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya yang konon terdampar juga dikampung tersebut beberapa tahun sebelumnya.

Selanjutnya ia menetap disana kemudian menikah dengan Kemuning, putri dari Mbah Mayang Madu, sebelumnya beliau pernah menikah dengan Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati (saat beliau sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, mantan murid Sunan Ampel). Akhirnya beliau mendirikan sebuah pesantren yang mana merupakan tempat mengaji bagi ratusan penduduk setempat.

Kampung Jelak yang awalnya merupakan sebuah dusun kecil lagipula terpencil, perlahan demi perlahan tumbuh berkembang menjadi sebuah kampung yang besar dan ramai lalu namanya berubah menjadi Banjaranyar.

Tiga tahun kemudian ia pindah ke sebuah desa bernama desa Drajat (± 1km dari Banjaranyar) dengan tempat yang lebih tinggi serta bebas dari banjir saat musim penghujan.

Akan tetapi ia menganggap desa tersebut masih belum strategis sebagai pusat dakwah islam, yang telah mendapat gelar Sunan Drajat oleh para pengikut setempat.

Kemudian Sunan Drajat mendapat pemberian dari Sultan Demak, selaku penguasa Lamongan pada saat itu untuk diberikan izin membuka lahan baru diperbukitan sebelah selatan yang merupakan hutan belantara serta daerah angker konon banyak terdapat makhluk halus yang marah akibat dari pembukaan lahan baru tersebut dengan meneror penduduk di malam hari serta menyebarkan penyakit, akan tetapi berkat kesaktiannyalah semua dapat diatasi. Setelah pembukaan lahan baru seluas ± 9 ha selesai, beliau bersama-sama para pengikutnya membangun pemukiman baru. Didesa inilah beliau mengawini pula seorang wanita bernama Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Setelah itu diperbukitan bagian selatan ia membangun kompleks pemakaman yang merupakan petunjuk Sunan Giri lewat mimpi, yang diberi nama Ndalem Duwur, kemudian agak jauh dari tempat tinggal tepatnya sebelah barat ia juga mendirikan masjid yang menjadi tempat berdakwah untuk memberikan ajaran Islam kepada penduduk sekitar.

Sebagai Wali penyebar agama Islam yang dikenal sebagai sosiawan, kedermawanan, yang kesemuanya menjadi mudah dikarenakan beliau mendapat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya secara otonomi selama 36 tahun.

Sebuah Penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam serta usahanya mengentas kemiskinan dengan terciptanya kehidupan makmur bagi warganya, maka beliau mendapat gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak di tahun 1520 Masehi.

Selama sisa hidupnya beliau habiskan di Ndalem Duwur hingga wafat, sehingga kini didirikannya sebuah museum (sebelah timur makam) sebagai tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Sunan Drajat tak ketinggalan pula sebuah dayung perahu yang telah menyelamatkannya terdapat di museum ini, sedangkan lahan yang dipergunakan tempat tinggal beliau hingga kini dikeramatkan.

Tujuh filosofi Sunan Drajat yang diabadikan dalam tataran kompleks Makam Sunan Drajat serta kesuksesannya dalam menyebarkan ajaran agama Islam sehingga memperoleh gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah Sultan Demak, antara lain:
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita akan selalu membuat hati orang lain senang)
2. Jroning suko kudu eling lan waspodo (dalam suasana riang, kita tetap harus ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan mencapai cita-cita luhur, kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita diharuskan selalu menekan hawa-hawa nafsu)
5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mendapat keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur)
6. Mulyo guno Panca Waktu (kebahagiaan lahir batin bisa kita dapatkan hanya dengan salat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wong kang kodanan (berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan masyarakat miskin, Ajarilah kesusilaan kepada orang yang tidak punya malu, berilah perlindungan kepada orang yang menderita).

Terdapat pula Empat ajaran pokok Sunan Drajat dalam menyebarkan ajaran agama Islam adalah:
1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta (berikan tongkat kepada orang buta)
2. Paring pangan marang kang kaliren (berikan makan kepada orang yang kelaparan)
3. Paring sandang marang kang kawudan (berikan pakaian kepada orang yang telanjang)
4. Paring payung marang kang kodanan (berikan payung kepada orang yang kehujanan).

0 komentar:

Posting Komentar

Trafic

free counters
Users Online
 

Privacy Policy | Template by NdyTeeN | Blogger